Kamis, 08 April 2010

Artikel Guru Bahasa Inggris di Sekolah Dasar

skip to main | skip to sidebar

suhaya saputra

Sabtu, April 2010

Artikel Guru Bahasa Inggris di Sekolah Dasar

GURU KENCING BERDIRI MURID KENCING BERLARI

(Refleksi 16 Tahun Pembelajaran Bahasa Inggris di Sekolah Dasar)

Language is a tool, which is used by people in giving information, expressing ideas or opinion orally as well as in writing. Language as apart of human capacity and communication facility has existed since people need to express themselves to communicate with another. (Wardhaugh ; 1998)

Tahun ajaran 2004/2005 ditandai dengan masuknya Bahasa Inggris ke dalam kurikulum pembelajaran Sekolah Dasar dengan status sebagai muatan lokal Kabupaten Ciamis bersama dengan Bahasa Sunda, Karawitan, serta Anyaman. Bahasa Inggris mulai diajarkan dari mulai kelas 4 sampai dengan kelas 6.

Pada awalnya, meskipun hanya berstatus sebagai muatan lokal, pembelajaran Bahasa Inggris yang merupakan Internasional Language di Sekolah Dasar mendapat porsi perhatian yang besar dari berbagai kalangan. Mulai dari praktisi pendidikan (guru dan Kepala Sekolah), orang tua, para birokrat pendidikan, dan semua pihak yang peduli terhadap pendidikan. Berbagai opinipun bermunculan baik yang bersipat positif dan menyambut baik kehadiran Bahasa Inggris di Sekolah Dasar maupun opini negative yang merasa pesimis akan keberhasilan pembelajaran Bahasa Inggris di Sekolah Dasar.

Berbagai perangkat mulai diluncurkan untuk menunjang suksesnya pembelajaran Bahasa Inggris di Sekolah Dasar, mulai dari kurikulum, buku sumber, lembar kerja siswa, sampai pada alat peraga pembelajaran. Sepertinya kehadiran Bahasa Inggris ditanggapi serius oleh semua pihak.

Namun sepertinya ada satu hal yang dilupakan oleh semua pihak. Selama ini faktor sumber daya manusia dalam hal ini guru Bahasa Inggris di Sekolah Dasar luput dari perhatian dan tidak tersentuh sama sekali. Entah kenapa, apakah mungkin mereka menganggap bahwa pengadaan perangkat pendidikan seperti buku, LKS, alat peraga, dan lain-lainnya sudah cukup untuk menopang kemampuan guru Bahasa Inggris di Sekolah Dasar, ataukah mungkin mereka berasumsi bahwa guru SD dengan sistim guru kelas adalah makhluk yang serba bisa dalam segala hal termasuk Bahasa Inggris.

Padahal kalau kita menoleh ke latar belakang pendidikan guru SD yang rata-rata lulusan dari Sekolah Pendidikan Guru (SPG), maka dasar pendidikan Bahasa Inggris mereka sangatlah minim. Sewaktu penulis menjadi siswa di Sekolah Pendidikan Guru (SPG), penulis hanya mendapatkan pelajaran Bahasa Inggris selama 2 semester, yaitu di semester I dan II dengan bobot 2 SKS tiap semester. Dengan kata lain selama di SPG penulis hanya mendapatkan pelajaran Bahasa Inggris pada tahun pertama di kelas 1 (satu).

Kemudian sesuai dengan tuntutan kualifikasi dan kelayakan, guru SD dituntut melanjutkan ke Diploma -2 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Pada program inipun sama, mereka mendapatkan mata kuliah Bahasa Inggris yang sangat minim sekali. Bahkan ketika tuntutan sertifikasi mengharuskan guru SD mengantongi ijazah S-1, mereka sepertinya tidak begitu tertarik untuk mengambil jurusan Bahasa Inggris, tetapi mereka lebih tertarik untuk mengambil jurusan lain.

Apalagi sejak program S-1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) mulai dibuka, baik itu di Universitas Terbuka (UT) maupun Universitas lain penyelenggara S-1 PGSD, maka tampaknya tidak ada minat sama sekali guru SD untuk masuk melanjutkan study ke jurusan Bahasa Inggris.

Bila kita merujuk pada paragraph pertama tulisan ini yang merupakan pendapat yang dikemukakan Wardhaugh dalam bukunya Introduction to Linguistics, amatlah jelas bahwa bahasa adalah suatu alat yang digunakan manusia untuk memperoleh informasi, mengungkapkan perasaan ataupun pendapat baik berupa lisan maupun tulisan. Bahasa adalah salah satu dari kapasitas manusia dan fasilitas komunikasi yang ada semenjak manusia merasa perlu untuk berkomunikasi dengan manusia lain.

Kalau pendapat Wardhaugh kita bandingkan dengan kenyataan yang ada dan terjadi pada pembelajaran Bahasa Inggris di SD maka bisa dikatakan sangatlah jauh dari ideal. Bagaimana mungkin seorang guru Bahasa Inggris mampu menyampaikan materi Bahasa Inggris kepada siswa sedang gurunya sendiri kurang memahami materi yang disampaikan. Kebanyakan guru SD tidaklah mumpuni dalam hal keterampilan berbahasa yang mencakup mendengarkan (listening), berbicara (speaking), membaca (reading), dan menulis (writing). Apalagi kalau berbicara aspek kebahasaan yang lain seperti pelafalan (pronountiation), tata bahasa (grammar), kesusastraan (literature), dan lain-lain.

Seiring perjalanan waktu, berbagai perkembangan dan inovasi digulirkan dalam dunia pendidikan, termasuk pembaharuan kurikulum. Tetapi keadaan ini tidaklah berubah. Seingat penulis, saat diluncurkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun 2004 ataupun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006, Bahasa Inggris tidaklah mendapatkan pembinaan ataupun perhatian khusus seperti mata pelajaran lain seperti Pendidikan Agama, PKn, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS, Penjaskes yang merupakan mata pelajaran pokok di Sekolah Dasar.

Sepertinya keadaan ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, karena biar bagaimanapun dan meskipun hanya berstatus sebagai muatan lokal, pembelajaran Bahasa Inggris di Sekolah Dasar perlu perhatian dari berbagai pihak. Terlebih bila menyangkut peningkatan mutu guru Bahasa Inggris di Sekolah Dasar. Sepertinya perlu ada semacam kursus atau pelatihan Bahasa Inggris yang terstruktur untuk para guru Bahasa Inggris di Sekolah Dasar agar kemampuan Bahasa Inggris mereka lebih meningkat.

Disamping itu, untuk memotivasi para guru SD dalam meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris mereka, perlu adanya semacam kompetisi atau lomba baik untuk guru maupun siswa. Kalau tidak salah, seingat penulis pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Ciamis baru sekali mengadakan lomba kreatifitas siswa yang melibatkan pelajaran Bahasa Inggris, yaitu pada tahun ajaran Mei 2007 pada saat memperingati Hari Pendidikan Nasional dengan mata lomba pidato Bahasa Inggris. Apalagi bagi guru, kompetisi pelajaran Bahasa Inggris hanya ditemui saat lomba Guru berprestasi ataupun test untuk meningkatkan karir menjadi kepala sekolah dengan prosentase soal tidak lebih dari 15% keseluruhan soal.

Dari uraian di atas maka dapat kita simpulkan bahwa setelah 16 tahun Bahasa Inggris masuk kurikulum Sekolah Dasar, ternyata kenyataan di lapangan sangatlah memprihatinkan. Berbagai kekurangan baik menyangkut sarana maupun prasarana tampaknya memerlukan perhatian dan pemikiran dari berbagai pihak. Dan terlebih lagi bila kita berbicara tentang kompetensi guru Bahasa Inggris di Sekolah Dasar yang cenderung apa adanya tanpa didukung dengan kemampuan yang mumpuni, maka tak salahlah bila seorang teman penulis berseloroh saat mengomentari kondisi pembelajaran Bahasa Inggris di Sekolah Dasar dengan sebuah peribahasa Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari